PENATALAKSANAAN LABORATORIUM PENYAKIT TETANUS

 


PENATALAKSANAAN LABORATORIUM PENYAKIT TETANUS


BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di

negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan

tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)yang jarang tersedia di

sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus

melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun,

sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000

kematian per tahun.

Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global

telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak

berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka

yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan

menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang. Tetanus

adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium

tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejangkejang otot rangka.

Tetanus merupakan hal yang dapat dicegah. Tetanus lebih umum didapatkan pada

masyarakat dengan pemasukan ekonomi rendah, terutama negara berkembang, tapi

tidak menutup kemungkinan tetanus ada di negara maju. (Lam & Louise, 2019)

WHO mengatakan pada tahun 2015, terdapat 10301 kasus tetanus termasuk 3551

kasus neonatal yang dilaporkan melalui WHO/Unicef. Laporan tersebut juga masih

belum bisa menjelaskan angka kejadian sebenarnya dikarenakan banyaknya insiden

yang tidak dilaporkan (WHO, 2017).


1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian penyakit Tetanus ?

2. Apa epidemiologi, penyebab, dan gejala klinis penyakit Tetanus ?

3. Bagaimana pencegahan dan penularan penyakit Tetanus ?

4. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tetanus ?


1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian penyakit Tetanus

2. Mengetahui epidemiologi, penyebab, dan gejala klinis penyakit Tetanus

3. Mengetahui pencegahan dan penularan penyakit Tetanus

4. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Tetanus


BAB II

PENATALAKSANAAN LABORATORIUM PENYAKIT TETANUS


2.1 Pengertian Penyakit Tetanus

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di

negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan

tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)yang jarang tersedia di

sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus

melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun,

sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000

kematian per tahun.

Tetanus berasal dari kata Yunani “tetanus” yang artinya “berkontraksi”, merupakan

penyakit bersifat akut yang ditandai dengan kekakuan otot dan spasme, akibat toksin

yang dihasilkan Clostridium tetani mengakibatkan nyeri biasanya pada rahang bawah

dan leher (IPD PAPDI, 2014).

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan

berat. Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang

mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot

menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan

sebelumnya. Clostridium tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan

kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan

gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan

beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Clostridium tetani merupakan bakteri yang motil karena

memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan

memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan

terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora Clostridium

tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan

autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka

seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita

tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati

tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin

tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit

tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).

Tetanus adalah penyakit infeksi sporadis yang melibatkan sistem saraf disebabkan

oleh neurotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Karakteristik

penyakit ini adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada individu yang tidak

memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus. Terkadang infeksi juga menyerang individu

yang sudah memiliki imunitas tetapi gagal mempertahankan daya imun tubuh yang


adekuat. Sehingga meskipun penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi

insidensinya di masyarakat masih cukup tinggi (Gautam et al., 2009).

Ada tiga manifestasi klinis dari infeksi tetanus yaitu tetanus generalisata adalah

bentuk tetanus yang paling umum ditandai dengan peningkatan tonus otot dan spasme

otot generalisata. Tetanus neonatorum adalah jenis tetanus yang generalisata dan

berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan adekuat. Sedangkan tipe tetanus lokal

adalah infeksi tetanus dimana manifestasi klinisnya terbatas pada otot-otot dekat luka

yang menjadi sumber inokulasi kuman. Salah satu tipe tetanus lokal adalah cephalic

tetanus (Gautam et al., 2009).

Cephalic tetanus adalah bentuk tetanus lokal yang lebih jarang terjadi dengan

manifestasi klinis adalah trismus dan disfungsi satu atau lebih nervus cranialis dengan

yang paling sering terlibat adalah nervus cranialis ke tujuh (facialis). Insidensi nya adalah

berkisar 6 %. Sebagian besar kasus fokus inokulasi bakterinya adalah luka tusuk atau

infeksi kulit pada regio wajah dan leher serta infeksi telinga. Dapat pula berhubungan

dengan karies gigi, tindakan ekstraksi gigi, abses periodontal, serta laserasi lidah. Penyakit

tetanus jenis ini biasanya memiliki masa inkubasi yang lebih pendek (1-2 hari) dan

angka mortalitas tinggi.


2.2 Epidemiologi

Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan

publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia,

dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian

300.000-500.000 per tahun. Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara

berkembang, dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan

pernapasan akut. Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan

ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat

berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus. Penelitian oleh Thwaites et al

pada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus

berkisar antara 12-53%.

Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin buruknya

sistem kardiovaskuler paska tetanus ( 40%), pneumonia (15%), dan kegagalan

pernapasan akut (45%). Health Care Associated Pneumonia (HCAP) dalam beberapa

penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi, penelitian terbaru oleh

Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang tidak memberi perbedaan yang

bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus. Angka mortalitas

penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi bagi kelompok yang mempunyai risiko

tinggi terhadap kematian akibat penyakit ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari

disfungsi saraf otonom dan berperan besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di

populasi usia lanjut.


2.3 Patofisiologi

Tetanus disebabkan oleh neurotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat

anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan

ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi

dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki

tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan

umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya.

Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik

telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika

organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya,

akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.

Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi

klinis tetanus, sedangkan tetanolysinsedikit memiliki efek klinis.

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan

saraf pusat: 

(1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui

jaringan perineural ke susunan saraf pusat, 

(2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke

susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya

terlibat.

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih

memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik

dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf

pusat. Tetanospasmin yang merupakan zincdependentendopeptidase memecah

vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan

peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga

pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi,

mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron

menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan

menghambat refl eks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali,

mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan

potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal

karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,

mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan

aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan

dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan

membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi

penyakit ini.


2.4 Gejala Klinis

Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,

gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama

sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun periode

inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset<48 jam

dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya.

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan

ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok

otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat

masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot

wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan

disfagia. Peningkatan tonus otototot trunkal meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot

yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak

simetris.

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,

auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur

tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera,

mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga

dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang

memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa

fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling

sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan

sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama

minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu

rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.

Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak

terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan

berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan

periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic stormberkaitan dengan

peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,

bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi,

berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.

Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme paroksismal

kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular.

Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebrathorakalis.

Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi,

rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain, meliputi atelektasis,

penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus,

thrombosis vena, dan thromboemboli.


2.5 Diagnosis

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan

temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan

dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut

dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan

hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical

Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada

hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif).

Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur Clostridium

tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan

konfirmasi.

Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah

meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacialserta arthralgia temporomandibular

yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis,

terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies.


2.6 Pencegahan

Tetanus neonatal terjadi pada bayi berusia kurang dari 28 hari. Gejala akan muncul

biasanya pada hari ke 4-14 setelah lahir, rata-rata 7 hari setelah kelahiran.

Penyebabnya adalah pemotongan tali pusar bayi saat lahir menggunakan alat yang

tidak steril. Kasus tetanus neonatal banyak terjadi pada negara berkembang yang

masyaraktnya masih banyak menggukan layanan kesehatan rendah untuk

persalinannya (Selvy, 2017).

Imunitas yang didapatkan dari vaksin tetanus dapat mencegah kejadian tetanus, tetapi

imunitas ini tidak berlangsung seumur hidup. Maka dari itu dibutuhkan injeksi booster pada

pasien yang mengalami luka rentan tetanus (Komang, 2014). Tujuan dilakukan studi

literature ini adalah mengedukasi dan memberikan informasi kepada pembaca

mengenai pencegahan tetanus terutama dengan penggunaan vaksin tetanus.


2.7 Penularan

Bakteri tetanus bisa ditemukan di setiap tempat. Spora bakteri Clostridium tetani ada di mana

saja di siktar kita. Yang paling banyak ada di tanah dan feses hewan. Bakteri bisa masuk

ke tubuh melalui luka terbuka atau terkena tusukan benda tajam yang terkontaminasi,

misalnya tertusuk paku.Bakteri tetanus akan masuk ke dalam tubuh, dan spora

berkembang biak menjadi bakteri baru dan mengumpul dalam luka. Kumpulan bakteri

tersebut akan menghasilkan racun yang menyerang saraf motorik Anda dan langsung

menyebabkan gejala tetanus.

Selain itu, cara umum lain penularan tetanus antara lain:

a. Luka yang terkontaminasi dengan air liur atau kotoran

b. Luka yang disebabkan oleh benda menusuk kulit seperti paku, serpihan kaca, jarum.

c. Luka bakar

d. Luka yang dipencet

e. Cedera dengan jaringan yang mati

Cara penularan tetanus yang jarang antara lain:

a. Prosedur oprasi

b. Luka dangkal (misalnya goresan)

c. Gigitan serangga

d. Penggunaan obat infus

e. Suntikan ke otot

f. Infeksi gigi


2.8 Penatalaksanaan

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:

1. Membuang Sumber Tetanospasmin

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridementuntuk mengurangi

muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk

mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis

adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan

di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis

inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari.

Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini

kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari,

jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk

anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani.

Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10

hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan

bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan

menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA)

2. Netralisasi toksin yang tidak terikat

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.

Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan

intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan

diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.

Rekomendasi British National Formularyadalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi,

dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara

infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu

paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi

HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human

immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang

dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka

digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular

dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit

intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh,

sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena

seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan.

3. Pengobatan suportif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah

terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa

diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang

dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.

Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus

diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun

terapi. Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,

aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi

bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.Trakeostomi

ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-

otot punggung, dada, atau distres pernapasan. Kematian akibat spasme laring

mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi

jika tidak tersedia akses ventilator.

Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi

lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami

spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan

pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali

dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2

tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus

segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10

mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk

anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan

dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus

neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme

akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam

diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis

maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme

spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan

pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya

phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat

menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan

dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis

sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12

mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan

biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.

Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh

otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV). Tidak ada

data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari

laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena efek samping simpatomimetik.

Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada

jantung. Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu

sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien

tetanus sebesar 52,6%. Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan

penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan

komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction

trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau

ketidak stabilan otonom.

Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onsetspasme umum dan fatality

ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai

gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi

sering menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif,

hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa

hari setelah onsetspasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat

dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin

tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan

hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus

arrest, dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus.

Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat

dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai

terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau

chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan

spasme dan disfungsi otonom; dosis loading5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai

3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi

serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor reflek patella. Beta

blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik

dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis tinggi,

lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada regimen

terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.

Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis

berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan.

Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi

gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga

memperburuk prognosis. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan

insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan

katabolisme protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme

protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus

pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat

dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus

pada risiko aspirasi.

Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak

digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli dan

perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan

pelumpuh otot.


BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan

oleh Clostridium tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan berat. Bakteri

ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik

drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa

tahun. Spora Clostridium tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit . Jika bakteri

ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan

memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan

publik yang sangat besar. Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana

intensif , membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat berguna

dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat

anaerob. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk

pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan

tetanolysin. Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari . Pada 80-90% penderita, gejala

muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi.

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber

tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang

(suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis

dimetabolisme.

LihatTutupKomentar